Kemana Kiblatku, Apa Doaku..

Aku menulis tanpa sempat berpikir, Vokal khas Bang Armand Maulana menghentak-hentak pada headset yang menempel erat di telingaku setelah kutambahkan semua isi folder Gigi Kita Jogjaku di playlist Winamp. Mengaburkan dan mencampuradukkan hampir semua apa yang sedang kurasa dengan apa yang sedang kudengarkan. Sejenak aku hanyut namun bimbang dan ragu itu terus kembali meraja dihati, dan otak kembali berputar dan memusing tanpa menghasilkan sebuah solusi.

Diantara keyakinanku, harapanku, mimpi”ku, dan masa depanku..aku mencoba berpikir untuk meyakinkan diriku bahwa aku siap menjalani semua itu. Aku mencoba bersikap realistis bahwa semua hal punya sisi baik dan sisi tidak baiknya. Itu jelas sekali tapi aku belum menemukan alasan ataupun jawaban pasti untuk menaklukkan hati Ayah Bunda nanti ketika aku sudah sampai rumah. Cepat atau lambat aku yakin bahwa sidang itu akan terjadi dan siap tidak siap aku sudah memilih jadwal sidang itu dipercepat. Oh Rabbii, aku butuh dukungan Mu karena setidaknya ini semua kulakukan demi lebih baiknya ibadahku kepada Mu. Rabbii, Engkau jelas pasti tahu bagaimana lemahnya aku, rapuhnya jiwaku. Dan jika pilihanku ini yang kuanggap sebagai solusi efektif untukku ini memang baik untukku, maka mudahkanlah dan hanya kuharap ridho Mu..

Abi.. Ummi..Aku berharap kelapangan hatimu..banyak sisi jika ingin melihat pelangi, cobalah melihat dari sisiku..

Mas, Peyek Mas..tumbas peyek Mas ???

Kejadian itu dah berlangsung sudah seminggu yang lalu tapi gara” kadang masih gonduk dan jengkel akhirnya kuputuskan untuk menuangkannya di blogku ini, apalagi dah lama ga sempet nulis. Sebetulnya aku mestinya bersyukur bahwa aku masih diberi banyak karunia bahwa kondisiku baik” saja tapi tak ada salahnya aku ceritakan kegondokan hati ini karena mulai hilangnya rasa ewuh pekewuh di kota Jogja tercinta ini.

Cerita bermula pada pagi itu Rabu, 28 Mei 2008 waktu sudah menunjukkan pukul 07.50 lebih cepat sekitar 10 menit dari jam HP ku dan itu artinya lebih cepat sekitar 15 menit dari jam kantorku. Otakku cepat berputar menghitung dan masih cukup waktu untuk sekedar mampir ke toko, beli roti dan sarapan roti di kantor. Kebiasaan sarapan tiap pagi walopun cuma sedikit membuat perutku sudah protes minta jatah. Mesin Karismaku sudah kupanaskan, aku mulai meluncur dan melaju pelan di sepanjang jalan kaliurang sambil mencari” toko yang menjual roti. Menurutku anda bagaimana kalo seharusnya kalo anda sedang mengendarai sepeda motor dan perlu mencari sesuatu di pinggir jalan ??? Sudah selayaknya kan kalo saya berkendara pelan”, di sebelah kiri dan sambil menoleh-noleh ke kiri mencari toko roti. Nah di tengah keasyikan itu tiba” aku dikagetkan dengan olengnya stang motorku karena tersangkut sesuatu dan terdengar suara” rem menjerit kencang karena rem mendadak. Dan motorku sudah tidak terkendali jatuh menabrak motor yang diparkir dipinggir jalan. Ketika aku bangun nampak disebelah kanan sebuah sepeda motor dengan beban tambahan dibelakang [di Jogja disebut krombong] yang berisi peyek ato rempeyek, sebagian isinya tampak tercecer di jalan dan lagi” orang yang menolong lebih sibuk menyelamatkan peyek itu daripada motor saya atopun menanyakan keadaan saya.

Motorku nampaknya baik” saja, hanya bergeser sedikit sehingga nilai simetris kiri dan kanannya sudah hilang. Celanaku sobek dibagian lutut dan nampak luka gores disitu, lecet” kecil juga menghiasi celanaku dibagian lain. Saat itu terlintas aku baik” saja dan bisa saja pergi melanjutkan ke kantor dan meninggalkan TKP namun itikad baik dan rasa tanggungjawab saya memaksa untuk memarkirkan motor dan menyusul Bapak empu pemilik motor berisi peyek itu, aku berharap mendengar kata maaf ato semisal itu. Namun baru aku duduk, bapak tadi sudah menodongku dengan tuntutan saya harus bertanggung jawab karena saya sudah menyalip lewat kiri dan menyenggolnya membuatnya jatuh dan barang dagangan peyek itu rusak. Kira” dialognya hampir seperti ini…

Saya : ‘Mboten nopo” Pak ?’

Bakul Peyek : ‘mboten nopo”, tapi barange kulo rusak. Pokoke Mas, kulo nyuwun tanggungjawabe jenengan !’

Saya (terkaget” dan melongo) : ‘lha sampeyan pripun tho wau leng numpak motor niku ?’

Bakul Peyek : ‘lha jenengan niku sing nyalip lewat kiri trus nyenggol krombong kulo, mongko isine niku peyek gadhane juragan kulo Mas, ajeng ta setor jumlahe niku 800 sak bungkus regane rp 3.500,-. Kulo rugi okeh, pokoke kulo njaluk tanggungjawabe njenengan’

Saya (ga habis pikir) : ‘lha kulo niki leng tibo motore kulo rusak, celonone kulo geh sobek” niku sinten sing ajeng ganti ?’

Bakul Peyek : ‘pokoke kulo nyuwun tanggungjawabe njenengan !’.

Kepalaku berdenyut berpikir dan rasanya kok bakul peyek ini sudah kehilangan nilai” sosial sebagai orang Jogja yang terkenal ramah dan santun. Dan kalopun saya teruskan perdebatan ini cuma akan jadi panjang mulut saja apalagi saksi” yang ada tidak ada satupun yang mendekat. Akhirnya bakul peyek itu menawarkan membawa masalah ini ke kantor polisi, jelas langusng saya iyakan karena sudah males berdebat.

Sampai di pos polisi perempatan kentungan jalan kaliurang kami disambut 2 Bapak Polisi yang sedang bertugas. Masing” menceritakan kepada kronologinya kepada polisi yang berbeda. Hingga ketika sudah masuk semua dan duduk kami baru ditanyakan gimana kejadiannya. Sang bakul peyek masih ngotot dengan mengatakan bahwa posisinya di depan motor saya dan saya menyalip lewat kiri, sementara saya waktu itu tidak yakin dia didepan ato dari belakang karena waktu itu kan saya sedang asyik nyari toko roti. Meski alibi saya lebih ga kuat, saya menolak ketika dalam proses penyelesaian secara kekeluargaan itu sang bakul peyek meminta ganti rugi setengah dari nilai peyek itu. Apalagi saya juga menderita kerugian dan sang bakul peyek ga mau tahu hal itu. Perundingan kembali buntu, akhirnya tak tinggal keluar beli betadin sebentar. Saat beli betadin itulah nampaknya pak polisi memberikan wejangan dan sedikit menyalahkan sang bakul peyek karena bagaimanapun membawa beban yang melebihi lebar stang sepeda motor adalah dilarang dijalan raya. Akhirnya ketika saya kembali ke pos polisi penyelesaian didapat dengan permintaan bahwa sang bakul peyek meminta sumbangan seikhlasnya. Dialog yang terjadi akhirnya seperti ini :

Saya : ‘o nggeh, kulo tingali riyen Pak, peyeke jenengan sing rusak sepinten ?’

Bakul Peyek : ‘Nggeh monggo’ (sambil mengajak keluar)

Bakul Peyek : ‘Niki Mas, peyek niku nek mpun tibo ta yakin niku mesti rusak sedanten, nek mpun kados niki (sambil menunjukkan sebungkus peyek utuh yang hanya gompal ujungnya pada salah satu peyek didalamnya), niku mpun diarani rusak, mpun mboten payu di dol Mas, sing disetori mboten purun.”

Saya hanya melongo dan tambah jengkel : ‘ngeten niki Pak, kulo saged nyumbang 50.000. niku nek sampeyan tampi..nek mboten nggeh monggo teng pengadilan’

Saat itu saya bener” jengkel, kalo aja sang bakul peyek masih ngotot”. Ta beli deh semua peyeknya satu krombong itu biar dia diem. Apalagi tampaknya Pak polisi juga sudah kurang simpatik dengan sang bakul peyek bahkan ketika sebelum keluar tadi sempet saya dibilangin bahwa nyumbang seikhlasnya itu, lima ribu juga gapapa yang penting ikhlas.

Akhirnya kita berdua kembali ke dalam pos jaga, disitu Pak Polisi langsung memulai pembicaraan.

Pak Polisi : ’Pripun pak dadose ?’

Bakul Peyek : ‘Mas e niki ajeng nyumbang 50.000’

Pak Polisi : ‘Lha pripun nek menurute jenengan 50.000 niku ?’

Bakul Peyek : ‘Wah, nek kulo nggeh tasih kirang pak, tasih awrat’

Langsung dipotong Pak Polisi : ’Lho jenengan niku bodo, lha di kei 50.000 kok ra gelem. Sampeyan niku nek barange payu kabeh niku bhati ne mung 40.000 tho pak ? lha kok di kei 50.000 ra gelem’

Saat itu saya hampir tersenyum” sendiri karena tampaknya tadi Pak Polisi sempet menginterogasinya dan sang bakul peyek Cuma bisa terdiam. Akhirnya uang 50.000 itu diterima, permasalahan selesai. Pak Polisi kemudian menyusul Sang Bakul Peyek keluar dan berbicara sebentar kemudian masuk lagi kemudian berbicara sama saya

‘Mas, Bapake ki kudu nek ngono ke, nek ra ngono jan ra melek tenan. Tak kandani mau nek mas e iki cah kost. Ibarate nek ra neng warung yo ra mangan, dadi peyeke jenengan sing ra iso di dol kui mau di kek ke mas e. Ben iso nggo cemilan neng kost’

Saya cuma tersenyum mendengar penuturan pak polisi, dan tak lama kemudian sang bakul peyek masuk membawa 2 bungkus plastik berisi peyek. Yang bikin saya mengelus dada ternyata saya dikasih 2 bungkus dan pak polisi 3 bungkus. Cen jan ra melek tenan…

Dari kejadian itu sebetulnya buat saya bukan masalah nilai harus mengganti atopun saya cuma dapat apa. Namun rasanya saya tidak mendapat itikad baik dari sang bakul peyek, padahal kalo seandainya dari awal sang bakul peyek tidak ngotot” dan mungkin memelas kepada saya semisal bilang ‘Mas kulo niki, anake 3 tur sekolah sedanten, lha niki barang dagangane juragan kulo pripun leng ajeng gentos’ mungkin saya akan lebih bersimpati dan menyumbang lebih dari sekedar 50.000 ga masalah buat saya. Hmm…dunia memang sudah berubah dan saya mensyukuri bahwa saya ga luka apa” dan hitung” hari ini saya sudah sedekah ato mungkin anggap saja beli peyek kemahalan.